Gue bisa, sih, menerima pernyataan itu. Tapi mata nggak bisa.
Seperti biasa, tugas menjadi tukang ojeg nyokap di hari Rabu dan Sabtu kembali dilaksanakan. Agak nggak ikhlas karena waktu tidur nggak sesuai kuota, dan masih ada jeda lama sampe gue harus bersiap berangkat ke kantor. Sempet ngedumel, "Bu, santai dikit jam masuknya bisa kali, ya". Maksudnya, harus, ya, jam setengah 6 berangkatnya? Bahkan langit masih gelap. Sekolah mana sih yang tega anak muridnya belajar subuh-subuh.
Tapi akhirnya gue sadar yang gue anter itu nyokap gue. Harus ikhlas, harus siap, ga boleh ngedumel. Maaf ya, Mamake. Hehe. Balik ke topik -yang membuat gue rela kembali menulis ini, selama perjalanan gue nggak berenti mikir -sambil tetap fokus nyetir
"Jam 6 kurang 15"
Oh, oke.
Tiba-tiba jadi flashback ke jaman SMA. Beruntung banget, ya, jaman gue masih masuk jam 7. Nggak harus bangun dan berangkat pagi-pagi buta begini (really, even the sky is not getting blue yet). Mendekat ke sekolah gue liat anak-anak yang jalan, naik ojeg, dianter orang tua, naik sepeda, bareng temennya, semuanya udah pake seragam putih biru dan tas, beserta langkah mereka yang nggak gontai sama sekali. Satu kata yang langsung muncul di pikiran gue. Hebat.
Mendadak malu sama diri sendiri. Gue bangun paling pagi setahun terakhir ini jam 8, itu juga karena kerja. Jaman kuliah, paling pagi bangun jam 10. Apa kabar gue kalo udah harus puter otak jam 6 pagi kayak anak-anak ini ya.
Seneng gue, nganter nyokap pagi ini. Ngeliat anak-anak sekolah mulai ramai di jalanan. Berangkat ke sekolah dengan beragam motivasi dan ekspektasi. Sama, kayak gue jaman sekolah dulu. Ke sekolah niatnya banyak. Belajar iya,
Hell to the yeah, I miss my junior and high school madness.
~R.